Showing posts with label opini. Show all posts
Showing posts with label opini. Show all posts

Friday, April 10, 2009

Aku Golput Karena Tak Masuk DPT

Nasib...nasib...
Sudah dibela-belain bangun pagi-pagi buat nyentang pemilu 2009, eh pas datang ke TPS namanya nggak terdaftar di DPT. Kecut deh ....!

Padahal sudah ada pilihan nih...kalau demen ame partai ini atau caleg ono...tapi yahh namanya nasib kagak kedaftar mau gimana lagi coy!

Kok bisa sih sampai nggak kedaftar ye...padahal panitianya kan udah dikasih pesangon ama negara buat menukseskan pesta demokrasi rakyat ini, kok malah jadi begini. Malah kalau baca-baca artikel nih, di daerah mentri aja golputnya sampai 70%....waduh...waduh..ini golput yang mana nih...!

Memang kenyataannya pemilu legislatif 2009 paling kacau. Sudah bukan rahasia umum lagi, bisa dilihat dan dirasa di sekitar kita. Betapa banyak nama-nama yang tidak terdaftar di TPS tempat mereka nyentang.

Sebenarnya ini salah siapa sih? Panitia atau rakyat yang kurang paham atau kurang sosialisasi pemilu hingga namanya tak terdaftar mereka tidak tahu. Apa iya kurang sosialisasi? Kan udah banyak tuh acara-sosialisasi pemilu dimana-mana yang ngabisin duit banyak. Kok ya masih aja kecolongan.

Kasihan mereka yang kecewa tidak bisa nyentang karena namanya tak terdaftar. Nggak cuma di dalam negeri loh. Di luar negeri juga iya, Kairo misalnya. Banyak teman-teman yang kecewa saat datang ke TPS namanya tak tercantum di DPT. Padahal mereka sudah jauh-jauh datang ke TPS dan sudah bangun sepagi mungkin buat milih wakil mereka di DPR, tapi apa boleh buat, kalau nggak kedaftar ya nggak boleh milih, dan alamat dicap sebagai golput, hidup golput!

Tapi ane kagak ikutan golput, alhamdulillah nama ane masuk di list DPT. Judul di atas hanya mewakili mereka yang tidak bisa nyentang alasan nggak masuk DPT.

Tahun 2004 kemarin ane rasa pemilu paling sukses buat Indonesia, angka golputnya kecil dan tidak banyak ditemukan kasus-kasus seperti pemilu 2009 sekarang, ada apakah gerangan?

Kasusnya bukan sabotase pihak tertentu kan?
Cuma takut aja kalau-kalau nama-nama yang nggak masuk di DPT itu memang sengaja ditiadakan. Tapi mudah-mudahan pradugaku ini salah. Masak sih tega banget melakukan hal seperti itu, manusia kan juga punya hak politik, masak haknya dikebiri begitu, nggak manusiawi namanya.

Anyway, semoga pada pemilihan presiden nanti, nama-nama yang belum masuk DPT bisa masuk dan nggak banyak yang golput. Buat panitia yang ditugasin buat nyatet nama-nama pemilih, tolonglah di cek lagi apakah data yang sudah mereka dapatkan itu valid, biar nggak kejadian lagi kasus-kasus yang mengecewakan seperti ini. Udah semangat-semangat kampanye...eh...pas mau milih nggak boleh....pusing deh...!

Friday, February 13, 2009

Air Mataku Untuk Gaza

Setiap kali melihat tayangan di televisi khususnya di Aljazeera tentang kondisi yang dihadapi masyarakat Gaza saat ini, langsung air mataku mengalir. Betapa tidak, penderitaan yang mereka alami akibat kekejaman Israel begitu besar. Lebih dari lima ribu orang menderita dan ribuan jiwa melayang akibat serangan yang membabi buta dari tentara Israel.

Pedih, ketika stasiun TV menyiarkan mereka yang menderita sebagian besar adalah anak-anak. Mereka kehilangan keluarga yang dikasihi dan kehilangan rasa aman. Mereka hanya anak-anak lugu yang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekelilingnya. Ketika mereka bertanya pada orang-orang asing di sekelilingnya, "Dimana ibu?" dan yang satunya bertanya "Dimana ayah?" sedang yang lain bertanya "Dimana kakak dan adik?" bahkan mungkin ketika mereka sudah tak bernyawa lagi mereka bertanya pada diri mereka "Dimana saya?"

Penderitaan yang mereka alami hanya bisa aku tonton di televisi, aku tidak punya uang untuk aku sumbangkan agar mereka bisa bertahan hidup, atau menjadi sukarelawan membantu mereka yang menjadi korban, aku hanya punya doa semoga mereka cepat keluar dari penderitaan bertubi-tubi yang mereka alami. Mereka telah kehilangan segalanya, saudara, keluarga, rumah, tanah dan rasa aman.

Jarak Gaza dari tempat tinggalku sebenarnya hanya lima jam perjalanan jika ditempuh dengan kendaraan, namun proses masuk menuju Gaza tidaklah mudah. Pemerintah Mesir memberlakukan peraturan yang sangat ketat bagi berbagai bantuan yang akan masuk ke Gaza. Maklumlah, Mesir telah terikat dengan perjanjian Camp David di era pemerintahan Anwar Sadat. Mungkin Mesir sudah capek berurusan dengan Israel sehingga menyetujui isi perjanjian tersebut dan kompensasinya juga menguntungan Mesir. Dari perjanjian tersebut Mesir menerima dana hibah dari negeri paman Sam yang jumlahnya tidak sedikit. Kalau Indonesia mendapat uang atas nama hutang, kalau Mesir hibah yang artinya ia diberi uang oleh Amerika tanpa harus dikembalikan. Wajarlah jika Mesir tetap tenang-tenang saja tidak membantu tetangga yang juga saudaranya ketika tengah dibantai oleh Israel secara biadab tak berperikemanusiaan.

Ingin kuhancurkan saja layar TV didepanku ketika menyimak Ehud Barrack diwawancarai oleh sejumlah wartawan terkait penyerangan yang dilakukan bangsanya terhadap bangsa yang tanahnya mereka duduki, ketika ia berkata bahwa penyerangan akan terus berlangsung sampai negaranya mendapat jaminan bahwa Hamas tidak akan melemparkan rudal-rudalnya ke arah Israel. Padahal saat itu sudah ada ribuan jiwa terluka dan ratusan nyawa melayang.

Sudah sewajarnya jika seseorang yang haknya dirampas melakukan perlawanan kepada pihak yang telah merampas hak tersebut. Tanah Palestina adalah milik rakyat Palestina, mengapa Israel begitu tak tahu diri merempas tanah mereka dan langsung mengklaim bahwa tanah itu miliknya karena Tuhan telah menjanjikan tanah itu pada mereka sebagaimana kitab suci mereka berkata.

Memang jika kita melihat sejarah terusirnya bangsa Yahudi dari tanah arab adalah karena perluasan islam di negara arab. Jika kita baca tentang sejarah peperangan yang dilakukan nabi dalam mempertahankan hidup dari serangan kaum musyrik dan dalam menegakkan keadilan di muka bumi maka akan terlihat bahwa salah satu diantara mereka yang berperang dengan kaum muslim adalah bangsa yahudi yang bekerja sama dengan kaum kafir untuk memerangi nabi Muhammad dan kaum muslim dalam menyebarkan islam. Namun sayangnya mereka kalah dan harus terusir dari tanah mereka dan meninggalkan harta mereka menjadi harta rampasan perang kaum muslim. Sebagaimana yang terjadi pada perang Bani Nadir, Bani Kuraidoh dan lainnya dimana kaum muslim melakukan penaklukan pada kaum yahudi di Jazirah Arab. Mereka akhirnya berpencar dan hidupnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Ada yang ke Iran, Jerman, bahkan ada yang sampai Amerika dan disanalah hidup mereka terjamin, dibawah lindungan sang negara adidaya. Sampai akhirnya ada seruan untuk kembali ke tanah mereka sebagaimana yang disebut dengan gerakan zionisme.

Begitulah akhirnya, ketika khilafah islamiyah dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk, jalan menuju zionisme semakin terbuka sampai akhirnya berdirilah negara Israel di tanah Palestina yang dengan PD-nya mendeklarasikan kemerdakaannya pada 14 Nei 1948.

Bagaimanapun sudah terlanjur berdiri negara Israel, pendudukna sudah menyulap sepotong tanah yang tandus itu menjadi sebuah surga yang tidak mudah bagi yang membangunnya dengan susah oayah menyerahkan begitu saja kepada bangsa Palestina. Yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimana Israel dan Hamas berdamai, karena Hamas tidak mau mengakui berdirinya negara Israel di tanah mereka dan Israel pun tak akan sudi melepas negaranya.

Sampai saat ini sudah banyak berlangsung berbagai pertemuan yang membahas tentang nasib bangsa Palestina namun selalu saja menemui jalan buntu. Tidak hanya itu masalah dalam negeri Palestina yang selalu saja tidak pernah akur antara Hamas dan Fatah semakin memperburam masalah. Fatah yang beraliran moderat selalu saja menjadi lawan Politik Hamas yang beraliran keras. Kalau di dalam negerinya saja tidak bersatu bagaimana bisa mencapai cita-cita kemerdekaan Palestina. Akhirnya Gaza yang menjadi korban. Masihkan mereka berseteru setelah apa yang terjadi pada saudara mereka sendiri?

Gaza oh Gaza....aku pilu melihat penderitaanmu. Anak-anakmu kini menderita trauma yang tidak bisa disembuhkan dalam jangka waktu yang pendek. Mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri betapa ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi dan teman-teman mereka mati di hadapan mereka akibat hujan bom yang dilakukan Israel. Akankan penderitaan ini akan terus berlangsung?

Wednesday, October 15, 2008

Krisis Ekonomi Amerika

Krisis Subprime di Amerika Serikat ~Kalau Langit Masih Kurang Tinggi~

October 14, 2008

Oleh: Dahlan Iskan

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ”menceritakan” secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ”membesarkan’ ‘ perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ”Deregulasi Kontrol Moneter”. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ”jalan baru” pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ”jalan baru” yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ”mortgage” berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ”para pelaku bisnis keuangan” sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ”bank jenis lain” yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ”hanya mirip” bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ”deposito” dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ”personal banking”.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana , saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ”menabung” - kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana . Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)